PENGUATAN KELEMBAGAAN ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA



Berbicara kelembagaan tidak terlepas dari dari konteks kajian ilmu tentang Administrasi Negara/Publik, terkhusus yang mencakup dalam kajian tentang penyelenggaraan organisasi di sektor publik. Lalu bagaimana praktik kelembagaan desa pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ?, bagaimana aktualisasi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan bagaimana pula struktur kelembagaan pada saat pemberlakukan Permendagri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa ?. Penulis mencoba mendiskripsikan dari telaah perspektif akademik bagimana penguatan kelembagaan organisasi pemerintahan desa dari kacamata ilmu administrasi negara.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa agenda pembangunan nasional diatur kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tahun 2015-2019, dimana sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2014, bahwa pembangunan desa ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa, dengan mendorong pembangunan desa-desa mandiri dan berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Upaya mengurangi kesenjangan antara desa dan kota dilakukan dengan mempercepat pembangunan desa-desa mandiri serta membangun keterkaitan ekonomi lokal antara desa dan kota melalui pembangunan kawasan perdesaan. Skema RPJM Nasional 2015-2019 didalam pembangunan desa sesuai dengan arah kebijakan dan strategi pembangunan desa dan kawasan perdesaan, termasuk di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, kawasan transmigrasi, serta kepulauan dan pulau kecil, tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut:

Pertama; Penanggulangan kemiskinan di Desa, melalui strategi: (a) meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat desa melalui fasilitasi, pembinaan, maupun pendampingan dalam pengembangan usaha, bantuan permodalan/kredit, dan  kesempatan berusaha; (b) menyiapkan kebijakan jaring pengaman sosial melalui jaminan sosial bagi masyarakat desa.

Kedua; Pemenuhan Standar Pelayanan Minimum sesuai dengan kondisi geografis desa, melalui strategi: (a) meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana dasar, baik perumahan, sanitasi, air minum, pendidikan dan kesehatan; (b) meningkatkan ketersediaan jaringan listrik dan telekomunikasi.

Ketiga; Pembangunan Sumber Daya Manusia, Keberdayaan, dan Modal Sosial Budaya Masyarakat Desa melalui strategi: (a) mengembangkan pendidikan berbasis ketrampilan dan kewirausahaan; (b) Mengembangkan peran aktif masyarakat dalam pendidikan dan kesehatan; (c) meningkatkan perlindungan masyarakat adat termasuk hak atas tanah adat/ulayat; (d) memberdayakan masyarakat desa/masyarakat adat dalam mengelola dan memanfaatkan tanah dan SDA termasuk pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang berkelanjutan; (e) menguatkan partisipasi kelompok/lembaga masyarakat desa termasuk perempuan dan pemuda dalam pembangunan desa; (f) meningkatkan kapasitas SDM dalam pemanfaatan IPTEK dan Teknologi Tepat Guna.

Keempat; Penguatan Pemerintahan Desa dan masyarakat Desa melalui strategi: (a) melengkapi dan mensosialisasikan peraturan pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa; (b) Meningkatkan kapasitas pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan kader pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan desa, pengelolaan keuangan desa serta pelayanan publik melalui fasilitasi, pelatihan, dan pendampingan; (c) menyiapkan data dan informasi desa yang digunakan sebagai acuan bersama perencanaan dan pembangunan desa.

Kelima; Pengelolaan Sumber DayaAlam dan Lingkungan Hidup Berkelanjutan, Penataan Ruang Kawasan Perdesaan, serta Mewujudkan Kemandirian Pangan melalui strategi: (a) menjamin pelaksanaan distribusi lahan kepada desa dan distribusi hak atas tanah bagi petani, buruh lahan, dan nelayan; (b) menata ruang kawasan perdesaan untuk melindungi lahan pertanian dan menekan alih fungsi lahan produktif dan lahan konservasi; (c) meningkatkan kemandirian pangan melalui penjaminan hak desa untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam berskala lokal (pertambangan, kehutanan, perikanan, peternakan, agroindustri kerakyatan) berorientasi keseimbangan lingkungan hidup dan berwawasan mitigasi bencana; (d) menyiapkan kebijakan shareholding pemerintah, desa, dan investor dalam pengelolaan sumber daya alam; (e) rehabilitasi dan konservasi daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dan terakhir, Keenam; Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota dengan strategi: (a) meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana produksi, pasca panen, dan pengolahan produk pertanian dan perikanan; (b) mewujudkan sentra produksi dan industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan, dan tujuan wisata; (c) meningkatkan akses transportasi desa dengan pusat-pusat pertumbuhan lokal/wilayah; (d) meningkatkan akses terhadap informasi dan teknologi tepat guna, khususnya di Kawasan Timur Indonesia; (e) mengembangkan kerjasama antar desa dan antar daerah khususnya di luar Jawa-Bali, dan kerjasama pemerintah-swasta khususnya di daerah yang sudah maju; (f) mengembangkan lembaga keuangan untuk meningkatkan akses terhadap modal usaha.

 Mewujudkan strategi RPJM Nasional 2015-2019 tentang Desa tersebut, maka perlu di lakukan dengan pendekatan dalam perspektif kajian dalam Ilmu Administrasi Negara/Publik, yakni aktualisasi serta internalisasi kelembagaan organisasi Desa yang menekankan pada fungsi pelaksanaan organisasi dengan melibatkan aspek aktifitas desain struktur, dan fungsi pelaksanaan aktifitas struktur secara efektif dalam aktifitas perwujudan pencapaian organisasi penyelenggaraan pemerintahan Desa.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa, analisa saya bahwa cakupan pemahaman Kelembagaan Organsasi Desa menekankan fokus bahwa struktur kelembagaan desa diharapkan mampu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat Desa dengan pola pemberdayaan masyarakat Desa, serta melibatkan pihak-pihak yang berkompeten (Tenaga Ahli) untuk memberikan masukkan kepada organisasi kelembagaan Desa, sesuai dengan potensi dan pengembangan dalam kebutuhan perwujudan Desa yang mandiri dan sejahtera.

Menurut Michel M. Harmon dan Richard T. Mayer dalam bukunya yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia pada tahun 2014 yang berjudul “Teori Organisasi untuk Administrasi Publik”, bahwasanya tindakan administratif terjadi dalam konteks organisasional, administrator publik bergerak di dalam dan di luar peran-peran dalam berbagai latar organisasional. Sejumlah peran administrator publik dapat divisualisasikan dengan paling mudah secara analitis sebagai penggabungan dalam tiga arena umum yakni; Pertama; antar-organisasional, dalam arena antar-organisasional, Administrator Publik bertindak sebagai perwakilan dan agen untuk suatu organisasi ketika dia bertemu, berbicara, berdebat dan berurusan dengan agen-agen serupa dari organisasi-organisasi lain. Arena ini sering menjadi suram karena bahasa yang dipergunakan untuk melukiskannya bahasa pertemuan organisasi dengan organisasi, ketimbang orang yang berurusan dengan orang. Kedua; intra-organisasional, bahasa yang sering merupakan bahasa bagan organisasi, mengenai siapa yang melapor kepada siapa. Administrator publik mempunyai tempat dalam organisasi dan dari tempat itu dia bekerja dengan orang lain dalam organisasi. dan terakhir Ketiga; organisasi dengan individu, di dalamnya administrator publik bertindak kembali sebagai agen, menghadapi, mengarahkan, membujuk, dan berinteraksi dengan para individu. Individu-individu ini baik yang berada di dalam (para rekan kerja, bawahan, atasan) maupun di luar (klien, warga negara) organisasi.

Berdasarkan pemikiran dari Harmon dan Mayer tersebut diatas, maka saya meyakini bahwa kelembagaan organisasi Desa yang tetap menjadi organisasi yang memiliki kinerja tinggi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mark G. Popovich (dalam Lembaga Administrasi Negara, 2003) menyatakan Organisasi berkinerja tinggi adalah organisasi dimana para anggotanya (pegawai/perangkat) selalu berusaha menghasilkan sesuatu atau memberikan pelayanan yang lebih baik walaupun sumber daya yang dimilikinya kurang memadai. Mereka selalu berusaha meningkatkan produktivitas dan kualitas yang dihasilkan secara terus menerus untuk menuju pencapaian misi organisasi.

Ekspektasi penyelenggaraan organisasi pemerintahan Desa pada wilayah di Provinsi Kepulauan Riau secara keseluruhan arti, makna, dan fungsi dari konsep organisasi secara teoritis, dan juga mengaju kepada peraturan perundang-undangan, seyogyia-nya mampu mentitik-tumpukan bahwa Desa dengan kekuatan karakteristik yang dimiliki atas dasar kesatuan masyarakat hukum, yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sepenuhnya mampu mewujudkan Desa di Kepulauan Riau yang sejahtera dan mandiri, ditopang dengan pemahaman manajemen penyelenggaraan pemerintahan Desa yang profesional dan akuntabel. Semoga Desa-Desa di Kepulauan Riau mendapatkan kucuruan rahmad, taufiq, hidayah dan inayah dari Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa menjadikan Desa-Desa Kepulauan Riau menjadi negeri Baldatun Toyibbatun Warrabun Ghofur. Insya Allah.



November 2016

Alfiandri










Share on Google Plus

About alfiandri

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Read »
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment