KANALISASI POLITIK BIROKRASI DI KEPULAUAN RIAU; Wujud Antisipasi Politisasi Birokrasi


Berbicara tentang birokrasi sepertinya tidak akan ada henti-hentinya. Isu klasik tentang kondisi birokrasi tersebut selalu terkuak ketika jelang suksesi atau pasca dari setiap proses demokratisasi pemilihan umum hingga suksesi pimpinan politik nasional hingga pimpinan daerah. Pada saat peristiwa sejarah bangsa dan negara Indonesia akan gerakan reformasi pada tahun 1998 yang telah silam, selain agenda setting untuk memaksa turunnya kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Ke-2 almarhum Bapak Soeharto, selain itu ada agenda besar lainnya dalam gerakan nasional reformasi yaitu isu tentang Reformasi Birokrasi, dengan alasan telah terlalu banyak birokrat di republik ini yang mengidap penyakit atau patologi birokrasi.  

Patologi birokrasi tersebut terindikasi dari dimulainya dari persoalan tinggi nya angka perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang tertangkap oleh aparat peneggak hukum, ada juga perilaku eufhoria bahwa seorang aparatur birokrat yang justeru bangga kalau ia-nya dianggap sebagai orangnya dari pejabat politik tertentu yang duduk di lembaga legislatif atau bahkan yang duduk sebagai pejabat eksekutif dengan slogan ABS (Asal Bapak Senang), dan hingga kepada penyandaraan birokrasi yang harus secara terpaksa atau bahkan dipaksa untuk terlibat secara aktif atau masif dengan langsung atau pun tidak langsung mengikuti fatsun-fatsun kekuatan pragmatis oleh kekuatan politik tertentu. 

Kendati sebenarnya ada juga mereka para birokrat tersebut yang telah berupaya untuk menghindar dari jeratan para politisi yang mungkin menjanjikan jabatan tertentu, dengan alasan bahwa karir seorang birokrat sangat ditentukan oleh kepentingan pejabat politik. Padahal sesungguhnya para birokrat di Indonesia sangatlah tahu akan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Displin Pegawai Negeri Sipil, dan bahkan Birokrat tersebut bukan hanya sekedar tahu, melainkan jauh memahami akan konsekuensi serta resiko apabila melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tersebut.

Fenomena aparatur birokrat di Kepulauan Riau, barangkali bagi masyarakat Kepulauan Riau masih terlalu segar untuk diingat. Pasca pelantikkan pejabat karir esselonering secara mendadak oleh Gubernur Kepulauan Riau pada Senin tanggal 7 November 2016 lalu, bukan hanya heboh dari adanya kekisruhan prosesi pelantikkan, namun bahkan ada aparatur birokrat yang mengecam bahwa proses pelantikkan tersebut dianggap tidak wajar dan unprosedural, dan pada puncak nya sampai kepada tindakan inisiasi DPRD Provinsi Kepulauan Riau melakukan mengambil hak DPRD Provinsi Kepulauan Riau atas hak interpelasi, yakni hak interpelasi yaitu hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 20014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada Bagian Kelima pasal 322 ayat (1) point (a) dan ayat (2).

Ada beberapa dasar yang memicu munculnya inisiasi hak interpelasi tersebut yang diidentifikasi akan munculnya persolan dalam kekisruhan pelantikkan pejabat esselon di lingkungan pemerintah daerah provinsi Kepulauan Riau yang telah lalu, yakni DPRD Provinsi Kepulauan Riau mencatat dan mengganggap Gubernur Kepulauan Riau telah melantik para pejabat birokrat dengan tidak mengikuti kepada aturan perundang-undangan.

Adapun peraturan perundangan yang dimksud yaitu Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Dalam Jabatan Struktural, PP Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan  Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tentang perubahan atas PP Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural Yang Lowong Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah, serta surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor B/311/ M.PANRB/ 09/ 2016 tanggal 20 September 2016 perihal Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Sebenarnya menurut hemat saya, fenomena tersebut tidak akan terjadi atau bahkan jangan sampai terjadi apabila Pertama; bahwa birokrasi harus bersih terhindar dari jeratan kepentingan politik tertentu, dan kembali sadar bahwa tugas seorang birokrat adalah sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat, bukan abdi penguasa atau pelayan para pejabat politisi dalam makna yang kabur, karena segala tindak tanduk birokrat telah diatur kedalam peraturan perundang-undangan yang jelas. Kedua; komitment netralitas oleh birokrasi yang jelas dan terukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Ketiga; Kepala Daerah tidak bekerja sendiri, dan perlu sosok yang menjadi penghubung (Liaison Officer) baik diangkat dari kalangan profesional, akademisi, dan politisi senior yang memiliki jam terbang yang tinggi, hingga komunikasi antara eksekutif dan legislatif, termasuk dengan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya dapat berjalan secara terbuka dan elegan.


Resolusi Depolitisasi Birokrasi

Berikut muncul pertanyaan, bagaimana menciptakan suasana kerja birokrasi yang kondusif dan terhidar jauh dari karut marut atas tindakan depolitisasi terhadap birokrasi, dimana birokrasi akan semakin sadar akan tugas, pokok, dan kewenangannya dalam menjalankan tugas seorang birokrat aparatur sebagai abdi negara dan pelayanan masyarakat. Selanjutnya bagaimana posisi birokrasi secara formal harus menyikapi ketika isu jelang pengisian jabatan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) baru di Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau semakin santer.

Secara konsep bahwa birokrasi tipe yang ideal dan rasional, sebagaimana yang dikemukakan oleh Weber dalam buku Profesor Miftah Thoha yang berjudul Birokrasi dan Politik di Indonesia (tahun 2005), dimana Weber menyatakan: 1) Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatanya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadinya termasuk keluarganya. 2) Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil. 3) Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya. 4) Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggungjawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak. 5) Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian kompetitif. 6) Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk terima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa untuk memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dari jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu. 7) Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objeltif. 8) Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. 9) Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.


Wujud Profesionalisme dalam konteks Kanalisasi Birokrasi di Kepulauan Riau

Agar dapat terhindarnya penyalahan kewenangan (abuse of power) oleh pejabat politik, baik di eksekutif maupun di legislatif kepada para aparatur birokrasi yang seyogiya-nya perlu dibuat semacam kanalisasi hubungan kerja yang jelas dan tegas antara pihak eksekutif, legislatif, dan birokrasi tersebut. Demi terwujudnya birokrasi yang berintegritas, profesional dan akuntabel.

Usaha mewujudkan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap birokrasi yang telah terinfeksi akan virus patologi birokrasi, maka jawabanya menurut Profesor Agus Dwiyanto (tahun 2011) memberikan solusi cerdas bagi terwujudnya birokrasi yang terhindar dari legitmasi sanksi sosial, dengan cara birokrasi dapat menjadi pusat unggulan apabila birokrasi mampu memberikan nilai tambah terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Keberadaan birokrasi dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Birokrasi publik harus mampu memperbaiki efisiensi, daya saing, serta daya tahan pelaku sosial dan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Untuk itu birokrasi publik harus efisien, efektif, profesional, modern, dan berorientasi kepada pelayanan. Birokrasi masa depan adalah profesionalismenya yang tinggi, dan birokrasi masa depan juga memiliki karakter profesional. Selanjutnya, Profesor Agus Dwiyanto mengingatkan bagaimana mengembangkan profesionalisme birokrasi agar dapat menjadi benteng yang tangguh bagi birokrasi  terhadap upaya yang ingin menjadikan sebagai arena transaksi  politik antara politisi dan aparatur birokrasi. Profesionalisme dapat menjadi salah satu kriteria dan sumber nilai yang penting bagi aparatur dalam menghadapi tekanan dan kepentingan yang ingin menjadikan birokrasi pemerintah sebagai instrumen politik yang berorientasi sempit. Profesionalisme sebagai sebuah nilai juga dapat menjadi inspirasi bagi aparatur birokrasi untuk selalu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan lainnya. Untuk mengembangkan profesionalisme maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yakni;

Pertama; profesionalisme membutuhkan aparat birokrasi yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan pengetahuan yang luas. Birokrasi pemerintah harus berani menetapkan standar minimun pendidikan aparaturnya. Aparatur birokrasi publik di masa depan setidak-tidaknya harus menamatkan program diploma, atau bahkan sarjana. Mereka harus memiliki akses terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsekuensinya adalah peran aparatur yang bersifat clerical atau teknis administratif seperti surat menyurat, yang memerlukan jenjeng pendidikan sekolah menengah ke bawah, tidak perlu dipertahankan lagi karena pekerjaan yang bersifat clerical dapat dilakukan oleh tenaga kerja dari kontraktir swasta (outsourcing), dengan demikian aparatur pemerintah dapat lebih berkonsentrasi pada pekerjaan dan peran yang membutuhkan kompetansi tertentu. Kebutuhan tenaga kasar seperti pesuruh, penjaga kantor, dan tenaga kasar lainnya sebaiknya tidak dilakukan oleh aparatur birokrasi pemerintah. Dengan demikian pemerintah harus melakukan investasi SDM sehingga aparatur birokrasi dapat memiliki kualifikasi pendidikan minimal yang diperlukan untuk menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi publik. 

Kedua; membangun aparatur yang profesional memerlukan pelembagaan nilai, sikap, dan perilaku yang diturunkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta didorong oleh keinginan untuk mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik dan bermartabat. Aparatur birokrasi yang profesional harus berani meninggalkan cara kerja yang tradisional dan rutin, serta selalu berusaha menciptakan kebaruan dalam cara mereka menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Mereka harus selalu berusaha memperbarui cara kerja nya untuk dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas.

Ketiga; untuk mempercepat pengembangan profesionalisme dalam birokrasi, pemerintah juga perlu mendorong dan memfasilitasi pengembangan administrator publik sebagai sebuah profesi yang berdiri sendiri, sebagaimana profesi lainnya, seperti dokter, guru, wartawan, pengacara, dan sebagainya. Selama ini administrator publik belum menjadi sebuah profesi yang diakui oleh publik. Pekerjaan seorang administrator selama ini masih dianggap sebagai jenis pekerjaan yang generic dan tidak menuntut kompetensi yang spesifik sehingga dianggap tidak dapat dikembangkan sebagai sebuah profesi yang berdiri sendiri. Asumsi seperti itu tidak tepat dan berimplikasi negatif terhadap upaya pengembangan administrator sebagai sebuah profesi yang berdiri sendiri. Apabila administrator publik dapat dijadikan sebagai sebuah profesi, keberadaannya tentu akan dapat mempercepat peningkatan profesionalisme dalam birokrasi publik. Sebagai sebuah profesi, administrator publik memerlukan organisasi profesi yang misi utamanya adalah menyantuni pengembangan profesi. Keberadaan organisasi profesi dapat mempercepat peningkatan kompetensi administrator publik dan mendorong mereka untuk selalu meningkatkan keahliannya. Organisasi profesi juga perlu mendorong berkembangannya etika profesi yang sangat diperlukan sebagai guidance bagi administrator publik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan publik yang dihadapinya. Etika profesi ini dapat menjadi bagian dari code of conduct aparatur birokrasi publik. 

Keempat; profesionalitas aparatur birokrasi dapat dikembangkan ketika mereka memiliki ruang yang memadai untuk mengambil diskresi. Kecenderungan birokrasi pemerintah sekarang ini yang bersifat rule-driven perlu diperbaiki agar aparatur birokrasi memiliki kapasitas untuk merespons dinamika yang terjadi dalam lingkungannya secara kreatif dan responsif. Untuk itu, perlu ada pengaturan mengenai penggunaan diskresi oleh aparatur birokrasi untuk kepentingan publik secara akuntabel. Pengaturan ini perlu menjaga keseimbangan antara hak untuk mengambil diskresi dan pertanggungjawabannya, termasuk dampaknya bagi masyarakat luas.

Dengan demikian apa yang telah dikemukan oleh Profesor Agus Dwiyanto seyogiyanya memberikan semangat dan menjelasakan status keadaan birokrasi dalam aktivitasnya guna untuk mendukung dan menjalankan kebijakan yang telah di buat oleh para pejabat politik sebagai hubungan simbiosis-mutualisme. Kinerja birokrasi publik akan semakin nyata dirasakan oleh masyarakat langsung apabila dilakukan secara profesional. Semoga dengan meningkatnya pemahaman dan profesionalitasnya aparatur birokrasi di pemerintah provinsi Kepulauan Riau, Insya Allah Kepulauan Riau akan lebih baik dan sejahtera. Amin Ya Rabbal’alamin.***



Desember 2016


Alfiandri


Share on Google Plus

About alfiandri

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Read »
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment