D'Javu Politik Kembalikan Kepercayaan Rakyat



Sejatinya hari ini aku mesti bahagia karena kelambu putih penuh toxin yang menyelimuti kota ku kini sudah pergi merambus. Ketika starter mesin ku hidupkan, rotasi ban secara perlahan bergerak 360 derajat dengan pasti meluncur kearah pulau yang terpisah dari kota ku tinggal. Aku putar musik pengiring jalan arah kemana akan aku tuju, sebait lirik terdengar dari "November Ceria" yang di dipopulerkan oleh sang biduan wanita era 80'an.
Hari ini agenda aku adalah ke kampus, mengantar orang tua ku, dan terakhir mengambil pesanan ayahku di salah satu kedai sudut kota dimana aku tinggal.
"Assalamu'alaikum Bang", sapa ku, dan dijawab dengan santun oleh si abang yang punya kedai, "Waalaikumsalam, eh apa kabar, terkejot abang tengok awak petang hari ni, ape hal ni ?", tanya si abang kepada aku.
"Ini bang, nak ambil pesanan bapak saye, dah siap bang pesanan bapak saye ?", tanya aku kembali kepada si abang yang punya kedai.
"Oh, sekejap ye", jawab si abang.
"Awak tunggu lah ye, dah nak siap pesanan Bapak awak".
Lebih kurang sudah Sepuluh menit saye menunggu si abang yang punya kedai menyelesaikan pekerjaan pesanan Bapak saye. Beliau mengerjakan pesanan secara hati-hati, dengan alasan menjaga kualitas dan kepercayaan pelanggan.
Selang Lima menit kemudian, tanpa sengaja si abang berkomentar dengan tulus tanpa beban, "harga barang tinggi, mungkin akhir tahun ini saye tak jualan lagi", "kenapa bang", tanya ku secara spontan. "Bahan baku tinggi, modal tak menutup, bahkan rugi adanya sekarang ini", tampak raut wajah sendu si abang karena mulai khawatir akan nasib diri dan keluarganya.
"Politik negara kita tidak pasti, harga barang melambung tinggi, nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar semakin jomplang disparitas nya", kata si abang pemilik kedai yang membuat aku tertegun dengan kening mengkerut dalam karena heran mendengarkan pernyataan abang si pemilik kedai, yang begitu lincah berujar dengan kata-kata retorika tingkat tinggi.
"Lantas bang ?", tanya aku semakin penasaran.
"Dulu para politisi menjelang Pemilu rajin sangat menghubungi kami para pedagang kecil, namun setelah terpilih ??!!??, haram jadah nak angkat telpon kami, jangankan telpon, sms pon dari kami tak nak balas lagi, padahal kami bukan nak minta duit atau nak ngajak ngopi seperti dulu orang-orang tu menyakinkan kami untuk mendukung orang-orang tu duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kata nya anggota DPR tu wakil rakyat, dan suara keluh kesah rakyat pasti akan didengar !!!", apa nya yang nak di dengar, kalau mau jumpa sekarang ini harus buat surat resmi dulu ke DPRD.  Kami menghubungi orang-orang tu sekedar nak tanyakan, bagaimana nasib kami nak berusaha ??, harga barang semakin tinggi".
Aku pun semakin tertegun dalam, tanpa sadar kepala aku menempel di telapak tangan aku untuk menyimak setiap kata demi kata yang terucap dari lisan abang si pemilik kedai.
"Awak tau tak ?", tanya si abang kepada aku kembali.
"Apa bang", jawab ku sontak.
"Awak percaya tak dengan para politisi ?", tanya si abang.
"Kenapa pulak bang dengan politisi ?", jawab aku sambil bertanya kembali.
"Kalau awak percaya dengan politisi, awak tu jadi murtad dengan Tuhan", sambil tertawa kecil terlontar dari bibir si abang.
"Ah abang, ada-ada saja", jawab aku sambil mengenyitkan dahi.
Lalu si abang berkomentar kembali, "percaya dengan politisi, sama hal nya dosa besar, ucapan dan janji nya penuh dusta, ini yang di bilang Nabi bahwa orang yang suka berbohong dan ingkar janji adalah ciri-ciri orang munafik", komentar si abang seperti ustad yang memberikan tausiah di majlis umat.
Aku terdiam sambil berfikir dan merenungi ucapan abang si pemilik kedai.
"Awak ada nonton siaran salah satu tv, yang si pemilik tv juga punya partai politik, yang salah satu unsur pimpinannya tertangkap KPK ?", kenapa lagi bang ??, tanya aku sambil bersandar di kursi reot hasil karya tangan si abang pemilik kedai.
"Kenapa ada orang yang harus berani berjanji, kalau akhir tak mampu membuktikan atau mewujudkan janji. Kami rakyat semakin tidak percaya lagi dengan negeri ini, apa lagi para pemimpin yang suka mengumbar janji, menjelang jadi sejuta mimpi diberikan kepada kami. Sekarang apa nak jadi ?!?, Demokrasi senjata menaklukkan kelemahan untuk terpaksa mendukung dan memilih para politisi, kalau kami GOLPUT kami dibilang tidak bertanggung jawab terhadap masa depan negeri ini, seolah-olah kami dipaksa makan buah simalakama, dimakan mati Bapak, tak dimakan mati Emak. Kenapa kami ??!!??", dengan nada suara yang begitu tegas sambil mengerjakan pesanan Bapak saye.
Hujan pun turun deras membasahi bumi, begitu lebatnya hujan hingga suara si abang pemilik kedai samar-samar aku mendengarnya. Aku semakin terdiam terpukau mendengarkan keluh kesah si abang, beliau bahkan berencana ingin beralih profesinya, ingin sekali buka warung makan dengan menu andalan "mie soto melayu", ungkapnya dengan semangat sambil menunjukkan hasil pekerjaan pesanan ayah ku.
"Nah dah siap pon pesanan Bapak awak", dengan bangga melihatkan hasil pekerjaannya kepada aku dan membungkusnya kedalam kantong plastik berwarna hitam.
Aku pun menerimanya, lalu bergegas untuk pulang kerumah.
"Terima kasih ya Bang", sapa ku sambil tersenyum riang.
Assalamu'alaikum, ku berlalu.
Medio November 2015,
Alfiandri
Share on Google Plus

About alfiandri

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Read »
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment