REFORMASI BIROKRASI PASCA PILKADA SERENTAK, SEBUAH KENISCAYAAN

Pemilihan Kepala Daerah serentak di beberapa Kabupaten dan Kota, serta Provinsi di Kepulauan Riau telah usai dilaksanakan, gegap gempita harapan baru bermunculan sejalan bagaimana pemimpin daerah yang terpilih pasca Pilkada dapat teraktualisasi dengan nyata dan dapat langsung dinikmati oleh masyarakat sesuai dengan visi dan misi yang disampaikan pada saat kampanye yang telah lalu. Friksi ataupun perbedaan pandangan serta pilihan dalam Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 seperti sebait lagu dari group Band Samsons “usailah sudah kisah yang tak sempurna untuk kita kenang”, kesemuanya kembali normal sedia kala, tanpa atau tidak ada lagi afiliasi pendukung si A, si B atau pun si C dan seterusnya, yang ada kini hanyalah tetap masyarakat Kepulauan Riau yang secara bersama-sama membangun Kepulauan Riau.

Namun, ada yang membuat situasi tentang kondisi para birokrat kita di Kepulauan Riau menjadi gamang, yang membuat saya terusik dan tergelitik lucu yang menurut pikiran saya ini bukan zaman nya lagi birokrasi publik dengan perilaku yang demikian. Di beberapa hari yang lalu saya sebagai pelanggan koran Tanjungpinang Pos, saya membaca ada salah satu kolom mulai terbitan hari Sabtu tanggal 6 Februari 2016 dengan judul “Banyak ASN minta jabatan ke Apri” dan lima hari berikutnya saya kembali terbelalak membaca berita pada hari Kamis tanggal 11 Februari 2016 yang berjudul “Kepala SKPD ramai-ramai setor muka ke Sani”. Ada fenomena apalagi ini, imbuh saya dalam hati seraya mengulang-ngulang membaca berita tersebut. Bermunculan pertanyaan yang terlontar dari pikiran saya, Pertama; Apa yang terjadi dengan birokrasi di Kepulauan Riau, apakah ini bentuk distorsi perilaku birokrasi ataukah ini yang disebut moral hazard birokrasi, Kedua; Sejauhmana para birokrat memahami tugas pokok dan fungsi secara individu yang berstatus pegawai ASN, Ketiga; Bagaimana tingkat pemahaman para birokrat memahami Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan aturan perundangan lainnya tentang Pegawai Negeri Sipil, dan yang terakhir Keempat; Bagaimana mental para Birokrat kita di Kepulauan Riau, pasca digaungkannya Revolusi Mental oleh Bapak Joko Widodo Presiden Republik Indonesia. Melihat fenomena yang demikian, saya mencoba mengulang kaji dan mengulas dari pelbagai perspektif tentang Birokrasi.

Mencoba mengkritisi fenomena yang demikian, semoga ini adalah ruang pencerahan atau paling tidak merupakan dialektika secara sederhana kepada Birokrat Aparatur Sipil Negara kita di Kepulauan Riau. Kendati dapat dipahami pula bahwa terkadang kondisi birokrasi kita hanyut dan larut oleh situasi politik yang memaksa masuknya birokrasi itu sendiri dipusaran arus kekuatan sistem politik yang mengarah kepentingan kekuasaan tertentu. Agus Dwiyanto tahun 2011, seorang pakar Administrasi Publik Indonesia mengemukan bahwa Birokrasi publik di Indonesia yang memiliki hirarki ketat, panjang, dan cenderung mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS (Asal Bapak Senang) memperoleh justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang paternalistis tidak bisa menjadi sensor bagi perilaku negatif yang muncul dari hierarki yang berlebihan. Budaya paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan tertentu antara rakyat dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan.

Birokrasi yang terjebak dengan perilaku paternalistis yang salah kaprah mengakibatkan para birokrat itu sendiri menunjukan dedikasi dan loyalitas yang berlebihan, dengan maksud agar atasannya memberikan keistimewaan tertentu, dengan ekspektasi bahwa nantinya atasan atau penguasa akan memberikan dan menentukan nasib mereka dalam karier yang lebih baik sebagai wujud hadiah atas dedikasi dan loyalitas tersebut.

Perlu klarifikasi yang berorientasi pemahaman mendasar berkenaan pejabat para birokrat di daerah pasca Pilkada serentak 9 Desember 2015 yang telah lalu, karena hemat pengamatan saya ada semacam kekhawatiran yang berlebihan (sindrom) karena mungkin dulu pada masa kampanye ada para pejabat birokrat atau PNS yang sengaja atau pun tidak sengaja terlibat aktif berpihak kepada pasangan calon kepala daerah, padahal jika kita baca Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, seorang PNS tidak dibenarkan ikut terlibat langsung ataupun tidak langsung pada kegiatan pesta politik sebagai tim sukses atau pendukung pasangan calon karena jika dihadapkan langsung pada PP Nomor 53 Tahun 2010 tersebut maka ada pada bagian Kedua tentang tingkat dan jenis hukuman disiplin yang tertuang pada Pasal 7 dan pada Bagian Ketiga tentang pelanggaran dan jenis hukuman dengan tegas pada Pasal 12 dan 13 dari Peraturan Pemerintah dimaksud, maka aparatur sipil negara harus benar-benar netral dan profesional sebagai abdi penyelenggara pelayan negara, dan para pejabat aparatur sipil negara yang bekerja secara profesional tersebut tidak pula perlu khawatir yang berlebihan tentang isu mutasi atau apa pun namanya, karena secara aturan perundangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, maka pada Pasal 162 ayat (3) berbunyi “Gubernur, Bupati, atau Walikota, dilarang melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka 6 (Enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikkan.

Namun realita di lapangan bisa jadi secara logis berbeda dengan kenyataannya, dari berita yang bermunculan di media seolah-olah dan mungkin barang kali benar adanya para pejabat birokrat sebagai aparatur sipil negara terbiuskan dengan kebiasaan dari budaya birokrasi yang selama ini salah atau yang disebut patologi birokrasi, dimana birokrasi dahulunya dipandang dan digunakan sebagai alat kepentingan elit penguasa.

Selanjutnya apa yang harus dilakukan dalam jadwal kerja oleh Kepala Daerah yang telah menduduki jabatan Gubernur, Bupati/Walikota tersebut selama 6 (Enam) bulan pasca dilantik atas jabatannya tersebut, dan bagaimana posisi birokrasi dalam eksistensi pasca Pilkada langsung, menurut saya ada beberapa hasil autokritik saya terhadap agenda setting refomasi birokrasi pasca pemilihan kepala daerah serentak di Kepulauan Riau.

Pertama: Seyogyanya para birokrat tidaklah perlu melakukan hal-hal yang demikian terhadap penyimpangan perilaku birokrat itu sendiri dengan kekhawatiran yang berlebihan, karena Gubernur, Bupati/Walikota menurut saya ada agenda prioritas utama dalam kinerja awal jabatan mereka yakni melakukan identifikasi serta memverifikasi isi materi apa saja yang berkenaan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai aktualisasi Visi dan Misi Kepala Daerah ketika kampanye terdahulu serta melakukan sinkronisasi terhadap Visi dan Misi Daerah serta Renstra Pembanguan yang secara holistis dan terukur.

Kedua: Kepala daerah mengevaluasi kembali Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) SKPD yang ada dilingkungan pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota serta mengevaluasi Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) Pejabat Aparatur Sipil Negara, untuk menentukan capaian kinerja pemerintah daerah kedepannya sebagai alat untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, dan melakukan evaluasi serta menetapkan audit mutu pembangunan infra dan supra struktur daerah, terlebih lagi apabila kepala daerah tersebut dahulu nya adalah pimpinan daerah incumbent.

Ketiga: Apabila hasil investigasi kualitas pelayan publik tidak tercapai secara prima, maka jika dipandang perlu dilakukan evaluasi dan kerangka kerja pengisian jabatan oleh para aparatur sipil negara, dengan tetap mengacu pola dan struktur kerja peraturan perundangan, Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian bersama Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) dan dibawah kendali Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), maka rekrutmen pengisian jabatan wajib dilalui sebagaimana dengat amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), maka semangat reformasi birokrasi adalah dengan melakukan lelang jabatan secara terbuka, jujur, bersih, rasional, akuntabilitas, serta profesional dan kompetitif, mengingat didalam UU Nomor 5 tahun 2014 tersebut ASN meghendaki Sistem Merit yang merupakan kebijakan dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Aktualisasi pengisian jabatan ASN tersebut dapat dipahami untuk dilaksanakan berdasarkan Permenpan&RB Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah. Jadi ASN di daerah pasca pilkada tidak perlu panik dengan mutasi, karena peristiwa itu adalah wajar dan dipastikan semua dilakukan dengan kompetisi secara terbuka.

Keempat: Memaknai reformasi birokrasi dapat diketahui apabila reformasi birokrasi itu sendiri dapat memberikan kontribusi terhadap perbaikan kompetensi pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan secara efektif dan efisien dengan wujud mengembalikan akuntabilitas dan loyalitas aparatur birokrasi kepada kepentingan publik dan menjadikan aparatur birokrasi sebagai profesi yang independen dari kepentingan kekuasaan dan politik. Wujud membangun kepemerintahan yang baik, maka sangat perlu dilakukannya reformasi brokrasi yang merupakan tuntutan dari sebuah keniscayaan, maka dengan adanya komitment reformasi birokrasi diharapkan kepercayaan masyarakat kepada birokrasi semakin meningkat, untuk melihat apakah Kepulauan Riau, baik di pemerintahan Provinsi, Kabupaten/Kota telah melakukan reformasi birokrasi ?, maka sebagai tolak ukurnya dilihat apakah kepercayaan publik terhadap birokrasi semakin tinggi didalam tingkat pengharapannya kepada birokrasi pemerintah itu sendiri. Bagaiamana melihat birokrasi yang profesional ?, yaitu birokrasi dituntut memilki kompetensi, integritas, dan ketulusan. Reformasi birokrasi ditujukan untuk membangun sosok birokrasi yang profesional, peduli terhadap kepentingan publik, memiliki integritas yang tinggi, dan mampu memberikan pelayanan yang baik sehingga kepercayaan publik bahwa birokrasi bukan alat kepentingan penguasa, melainkan birokrasi adalah media perwujudan kepentingan bangsa dan negara.

Semoga pasca pemilihan kepala daerah serentak ini adalah momentum untuk mewujudkan Kepulauan Riau yang lebih baik, sejahtera, aman dan sentosa dibawah payung rahmat dan karunia Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga Kepulauan Riau secara keseluruhan menjadi negeri yang Baldatun Toyibatun Warabbunghofur. Insya Allah.



Februari 2016


ALFIANDRI


Share on Google Plus

About alfiandri

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Read »
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment