DIANTARA LANTERA



"Selamat pagi pak", sapa petugas pintu masuk bandara Hang Nadim - Batam dengan memandangi e-ticket yang aku tunjukan dan petugas melihat dengan teliti jadwal keberangkatan pesawat yang akan aku tumpangi, dengan tujuan yang tertera di dalam tiket BTH ke BDO. Lalu ku balas dengan senyuman tipis kepada petugas bandara yang cantik dan membalas ucapan nya "Selamat pagi kembali".

"Maaf pak, sebentar bapak saya scanning terlebih dahulu, ini merupakan standar prosedur bandara pak dan mohon kerjasamanya agar segala barang yang berbentuk logam, handphone, tas, serta jaket Bapak juga harus masuk kedalam mesin x-ray". Seraya menunjukkan peraturan pemerintah tentang ketentuan dan keselamatan di bandara. "Baik lah" jawab ku untuk tunduk dengan instruksi si cantik petugas bandara yang begitu ramah kepada ku.

Setiba di ruang tunggu, tak kusangka aku berjumpa dengan seorang yang biasa-biasa saja diawal pertemuan dengan nya, namun di genggaman tangan nya kulihat satu buku menarik yang selama ini aku cari karena dahulu aku pernah memiliki buku tersebut akan tetapi tidak selesai aku baca, maklumlah dulu saat aku kost kuliah, buku-buku yang bersifat provokasi laris manis hilang tak berjejak karena nuansa kebebasan baru terjadi, gelegar euforia reformasi begitu gegap gempita menghinggapi dan menggelora bagi segolongan para pemuda dan mahasiswa di penjuru tanah air Indonesia ketika masa itu, maklum usia masih begitu muda antara transisi dari rezim orde baru ke orde reformasi yang sedang berlangsung heroiknya.

Wow.... kagum aku dalam hati ketika bersandar di kursi samping pria yang begitu memiliki kekuatan mistis yang telah mampu menghipnotis aku dengan bacaan awal bab dari buku yang ia bawa, "untuk yang dilupakan dan yang terlupakan", satu kalimat magis yang muncul terucap dari bibir pria tersebut membacanya dengan pasti seraya menggosok-gosok kacamata bulat dan tebal miliknya.

Panas tubuh ini meningkat tinggi, aku berkeringat di ruangan yang ber-AC yang begitu dingin dengan suhu temperatur 16 derajat celcius, yang mestinya aku harus mengencangkan retsleting agar menutup keatas menuju leher agar tubuh ku harus tetap pada suhu normal. Tapi kini itu tidak berlaku, justru aku harus membuka jaket karena otak telah memerintahkan tubuh ku karena aku gerah atas ucapan pria berkacamata.

"Alfiandri nama saya pak", dengan tegas ku ucap nama ku kepada si Bapak dan aku sorongkan tangan ku untuk menjabat tangan si Bapak dengan salaman hangat penuh pengharapan agar si Bapak mau menerima ku berdiskusi selama kami berada diruang tunggu menjelang boarding ke dalam aircraft.

"Oh iya, saya Ahmad, senang berkenalan dengan saudara", jawab Bapak dengan melakukan hal yang sama dengan menyorongkan telapak tangan nya kepada aku dan berjabat tangan dengan genggaman kuat, sekuat nuansa kebatinan seorang pencerah pergerakan yang telah ditinggal oleh teman-teman nya yang telah dahulu masuk kedalam pusaran pragmatisme yang selalu mengatasnamakan idealisme perjuangan dan kebangsaan yang duduk di Senayan.

"Tujuan kemana pak ?", tanya ku dengan singkat sambil mengalihkan perhatian si Bapak dari buku yang beliau pegang ditangannya.
"Oh..., saya akan ke Kota Kembang-Parahyangan bang", jawab si Bapak.
"Kamu sendiri bang mau kemana ?", tanya si Bapak dengan santun dan memanggil aku dengan panggilan 'abang', yang mungkin karena aku orang Sumatera.
"Sama pak, saya mau ke Paris van Java", seraya sambil tertawa ringan dengan nama kota yang ku sebut.
"Buku apa yang Bapak baca ?", tanya ku.

"Oh ini roman 'Jejak Langkah' bang, buku nya si Pram", jawab si Bapak. Buku ini sangat luar biasa bang, Pram begitu kuat memprovokasi dengan menulis roman dengan hati dan provokasi intelektual kita yang ditantang secara terbuka oleh si Pram bang. Tetralogi telah mengantarkan hebatnya kesusastraan dan peradaban budaya yang juga begitu hebat di negeri yang dulu nya bernama Hindia Belanda. Dalam Tetralogi tersebut Pram mengitari dialektika pada masa nya, sementara pemikiran dan tulisan Pram sudah diterjemahkan kedalam 42 negara di dunia dan Pram bukan hanya milik Indonesia melainkan Pram adalah sosok pribadi milik anak zaman di muka bumi ini, Pram menceritakan ada 4 roman dalam Dinamika kehidupan manusia; pertama "Bumi Manusia" merupakan periode penyemaian dan kegelisahan, kedua "Anak Semua Bangsa" adalah periode observasi atau turun kebawah, ketiga "Jejak Langkah" adalah pengorganisasian perlawanan, dan yang ke empat "Rumah Kaca" adalah reaksi balik dari pemerintahan Hindia Belanda yang melihat kebangkitan perlawanan meluas di tanah jajahan mereka.

Luar biasa penjelasan si Bapak tentang sosok Pramoedya Ananta Toer, sahut hati ini berdetak kagum. Lalu aku mencoba untuk mengimbangi apa yang telah dikemukakan si pak Ahmad tersebut, aku mencoba menyampaikan dengan apa yang aku miliki dan bertahan hingga kini tentang sosok Pramoedya Ananta Toer.
Aku mencoba menguraikan pemikiran dari perkataan Pram kepada pak Ahmad, ada inspirasi besar sebagai inisiasi kesabaran dari sebuah pergerakan, Pram pernah bilang dalam buku nya 'Bumi Manusia', beliau berkata "Cerita,..... selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat difahami dari pad sang manusia..... jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata elang, pikirannya setajam pisau cukur, peradabanmu lebih peka dari pada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan rayap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput".
Lalu suasana semakin hangat ketika pak Ahmad mencoba mengkritisi apa yang terjadi dengan kesusastraan Indonesia modern, Pram kini hanya legenda dan hanya telah mampu untuk memupuk serta provokasi kemerdekaan yang kini hanya tinggal retorika belaka. Jika Pram masih ada mungkin pasti beliau akan marah besar, mengapa kita terpasung dalam keterjajahan dengan gaya baru. Bayangkan oleh kamu bang Alfiandri, pengkhianatan di alam kemerdekaan semakin jelas kelihatannya, padahal Pram bilang dari buku 'Jejak Langkah' yang saya pegang ini, "Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan Hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan."

"Tragis kini nasib bangsa kita bang", hela nafas pak Ahmad dengan bergetar melihat kemunafikan yang sudah terlalu jujur terbuka. Manusia sekarang semakin vulgar tanpa punya malu dan menyesal untuk berbuat onar, baik dengan cara radikal terlebih lagi secara intelektual yang terlembaga dengan baik.
Pak Ahmad mengerenyitkan keningnya, seraya berkata "Rasa malu hilang punah ranah, pemimpin kehilangan jubah amanahnya, kaum cerdik pandai yang bekerja dengan intelektual disebut para cendekiawan mampu menghilangkan idealismenya, pedagang semakin berani berbuat curang dengan timbangan nya, bahkan kecurangan diperbuat di depan pembeli nya sendiri. Tergadai sudah passion di gelanggang kemunafikan yang fana, kering kerontang dunia kebenaran oleh fasisme gaya baru yang telah memporakporandakan bangunan cinta kasih sayang kejujuran mengapa dan untuk apa manusia di negeri persinggahan ini ???...."
Lalu aku berkomentar untuk menjawab pandangan dan pendapat pak Ahmad yang sangat kecewa dengan kekinian negeri ini, pendapat aku bahwa "Akankah diam kita atau berlari kencang secara senyap melihat gaduh nya negeri ini, atau kah kini kita menunggu saat kiamat datang seperti metamorfosa nya jazirah nusantara yang dulu di mulai dari Kutai Kertanegara, Sriwijaya, Majapahit, Mataram, hingga kini Indonesia yang mungkin akan sirna".

Panggilan penumpang oleh petugas bandara telah menyapa dan memanggil kami ketika kami tengah asik berdiskusi, dengan pengumuman bahwa penumpang Garuda tujuan Bandung dengan nomor penerbangan GA 0336 disilahkan masuk kedalam pesawat.
Kami hanya bisa saling memandang boarding pass yang kami pegang masing-masing, sayang ya pak nomor seat kita berbeda jauh. Aku hanya bisa bilang, "Enaknya kita sambung kembali diskusi yang luar biasa hebat ini ya pak Ahmad, semoga lain waktu kita bisa berdiskusi dengan tema dan literatur lainnya nya ya pak". Sambil berjabat tangan dan melemparkan senyuman perpisahan.
Sebelum masuk kedalam pesawat pak Ahmad mengepalkan tangannya ke udara, seraya berkata "Perjuangan belum usai bung".

Awal Desember 2015,
ALFIANDRI
Share on Google Plus

About alfiandri

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Read »
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment