Cerita Hati Di Perempatan




Suara azan Zhuhur berkumandang dan waktu menunjukkan pukul 11.55 WIB. Rasa haus serta lapar  mendera tenggorokan dan lambung ku yang memunculkan suara yang tidak nyaman untuk aku dengar dan aku rasakan. 

Siang itu dimana matahari menyinari cahayanya putih yang begitu terik menerpa badan ku yang mulai berkeringat mengucuri seluruh tubuh ku, aku berusaha lari mengejar lorong fly over di perempatan traffic light antara Grogol dan persimpangan jalan menuju Daan Mogot.

Panasnya...., hela nafas ku bergumam dalam hati, seraya memandangi ada sesuatu yang mencuri perhatianku ketika aku melihat sosok badut berlenggak-lenggok menggoyangkan badan untuk menghibur para pengendara di traffic light dengan logo Satu produk provider komunikasi di dada sang badut.

Ada juga ibu yang sedang menggendong anak kecil dengan jalannya yang bungkuk sambil menadahkan tangan, dengan harapan si supir yang mengendarai mobil sedan hitam kilap serie Camry tersebut mau memberikan uang sedekah nya kepada sang ibu, namun setelah traffic light berwarna hijau sang pengendara enggan membuka kaca jendela mobil mewah tersebut.

Hela nafas panjang ku lihat Ibu si peminta-minta dengan kondisi disabilitas berjalan dengan gontai dan bungkuk tertatih menggendong anak kecil yang mulai menangis karena campur aduk nya pelbagai rasa mendera si anak yang digendong oleh si Ibu dengan mencoba melawan terik nya matahari, aku pun berfikir pasti si anak tersebut menangis karena rasa panas, haus, dan lapar. 

Jeritan tangisan anak kecil itu pecah dengan kuat, membuat orang sekeliling si Ibu menatap dengan pelbagai persepsi melihat kondisi si Ibu, mungkin barang kali ada yang berbisik di dalam hati dengan rasa iba atau kasihan, ada yang mungkin berkata Ibu tersebut kok gak punya rasa tega, atau mungkin banyak lagi penilaian lainnya yang mengitari tertuju kepad si Ibu.

Ah, ujar ku... Ada penjual air minum di bawah kolong fly over dekat pos Polisi lalu lintas.

"Berapa pak minuman teh botol nya ?", tanya ku kepada Bapak tua si penjual air minum dengan bermodalkan ice box biru berukuran 40 x 60 cm. 

"Delapan ribu Rupiah aja mas", jawab si Bapak.

Uang dengan pecahan Sepuluh ribu Rupiah ku rogoh dari kantong saku celana. "Ini pak uang nya", sapa ku kepada si Bapak.

"Ini mas kembalian uang nya", sapa si Bapak kembali dengan menyerahkan uang pecahan Dua ribu Rupiah sambil tersenyum tipis. "Terima kasih pak", jawab ku.

Sontak suasana berubah, matahari yang tadinya begitu menyengat seketika langit berubah menjadi gelap dan suara gemuruh petir mengagetkan aku. Hujan tanpa kompromi turun dengan deras nya, seolah-olah tiada satu pun yang mampu menghalangi. Jalanan yang tadinya kering, seketika itu pula hanya hitungan detik menggenangi jalan raya di perempatan traffic light.

Si badut, pedagang asongan,Ibu si peminta-minta, pak Polisi yang tadi nya gagah berseragam coklat dengan rompi kuning berlari kencang kembali ke pos nya di bawah fly over. Dengan hebat, fly over yang tadinya lengang seketika berubah menjadi seperti camp pengungsian bencana alam atau mungkin bencana perang.

Ramai pengendara motor menaikan motor nya diatas trotoar di bawah fly over tersebut untuk berteduh dari deras nya hujan yang jatuh turun dari langit.

Terdengar oleh ku suara bergumam orang yang berkomentar tentang turun nya hujan tanpa disangka-sangka. Tetapi lagi-lagi ada yang mencuri perhatian kami orang-orang yang berteduh di fly over dekat pos Polisi lalu lintas. Si Ibu yang disabilitas tersebut jatuh tersungkur dihadapan kami, ia jatuh pingsan. Secara serempak orang-orang di sekeliling Ibu tersebut melihat dan membantu mengangkat si Ibu dan menggotong nya kedalam pos Polisi.

"Kasihan si Ibu", sela kata gadis manis dengan nanar matanya melihat kondisi Ibu si peminta-minta. Aku pun bergumam sama, tapi bukan kepada si Ibu melainkan melihat anak nya yang masih kecil kenapa harus menanggung derita atas kejamnya kehidupan ini.

"Anak kecil itu mustinya sedang berada di rumah dan bermain bersama keluarga tercinta, bukan berjuang menemani si Ibu yang sedang mencari nafkah dengan cara meminta-minta seperti itu". Ujar ku dalam hati.

Lagi-lagi anak itu menangis yang mungkin merasa bingung kenapa Ibu nya jatuh pingsan atau ada hal lain yang menyebabkan si anak dari Ibu tersebut menangis, dan rasa iba ku kembali mendera datang menggelitik mata hati batinku.

Aku pun bertanya; "Kenapa Nak ?".

Namun apa kenyataan yang terjadi ?, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut anak itu untuk menjawab pertanyaanku.

Lalu rasa iba ku datang dengan hebatnya sebagai manusia biasa, tergetar rasa kasihan yang luar biasa.

"Kamu lapar ya nak ?, kamu haus ya ?", tanya ku kepada si anak kecil yang terus menangis. Seraya aku meminta Satu teh botol kepada Bapak si penjual minuman dingin.

"Pak, tolong berikan anak ini Satu botol minuman teh botol dan Dua bungkus roti dengan rasa coklat ya Pak !...", ujar ku kepada si Bapak agar dengan segera memberikan minuman dan roti kepada si anak kecil.

"Iya mas", ujar si Bapak.

"Berapa semua harga nya pak ?", tanya aku kembali.

"Satu teh botol, Dua roti rasa coklat, jadi semua nya Delapan Belas ribu mas", jawab si Bapak.

Berusaha aku membujuk si anak agar mau minum teh botol dan makan roti tersebut, ternyata memang benar si anak polos tersebut yang mungkin umur nya kisaran Empat atau Lima tahun benar-benar lapar dan haus berat sepertinya. Karena aku lihat dengan cepat dan lahap roti dua bungkus tersebut habis dan air teh botol tinggal tersisa Seperempatnya.

Kira-kira Sepuluh atau Lima belas menit kemudian si Ibu siuman dari pingsan nya, gadis remaja yang telah membantu si Ibu dengan minyak angin memoles di hidung dan kening si Ibu tersenyum riang karena si Ibu sudah kembali sadar dari pingsan nya. Pak Polisi yang gagah dengan kumis tebal nya bergegas memberi minum air teh hangat kepada Ibu yang menyandang disabilitas tersebut. 

Betapa bahagianya aku melihat suasana yang demikian. Rasa haru menyelimuti hati ku ketika semua orang masih memiliki rasa perduli antara sesama manusia, tidak ada batasan sosial ketika ada yang tertimpa musibah.

Bergumam aku; "Bagaimana seandainya manusia hidup tanpa ada kesombongan atau keangkuhan dan keegoan serta arogansi. Apa yang akan terjadi nya manusia di Bumi ini ?, apakah dunia akan indah ?, dan mungkinkan dunia akan hidup tanpa kebencian ?". Ujar ku sambil menatap si Tukang Ojek yang biasa duduk di pangkalan persimpangan perempatan traffic light yang tak mau menerima ongkos untuk mengantar pulang si Ibu dan anak nya kembali pulang kerumah.

Sontak aku mendengar ucapan si Bapak penjual minuman di bawah fly over samping pos Polisi. "Kebahagiaan itu mahal mas !!..., tapi akan indah jika kita tulus memberi dan mau menolong untuk membagikan rasa bahagia yang kita miliki kepada orang lain", ujar si Bapak.

Diam tertegun kagum mendengar apa yang diucapkan oleh si Bapak. Hujan pun berhenti turun, mentari tersenyum bersinar kembali, langit cerah menghiasi perjalanan ku kembali pulang.

Akhir November 2015,
Alfiandri
Share on Google Plus

About alfiandri

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Read »
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment